
kanglintang.com – Pemerintah Kota Surabaya resmi menerapkan kebijakan bersejarah: setiap hari Kamis wali murid dan siswa SD hingga SMP wajib berbicara dalam Bahasa Jawa—khususnya Bahasa Jawa Krama Inggil. Lewat program bernama “Kamis Mlipis”, Pemkot ingin revitalisasi bahasa daerah lewat praktik harian, bukan sekadar teori. Simak alasan, mekanisme, dan tantangan dalam kebijakan ini.
Latar Belakang dan Regulasi Resmi
Surabaya menetapkan Peraturan Wali Kota Nomor 17 Tahun 2025 yang menjadikan Bahasa Jawa Krama Inggil sebagai bagian muatan lokal wajib di jenjang TK, SD awal, dan SMP. Kebijakan ini tidak hanya formalitas—tapi tindakan konkret untuk mendorong pelestarian bahasa daerah yang semakin tergerus modernisasi.
Kepala Dinas Pendidikan, Yusuf Masruh, menjelaskan bahwa program ini bukan hanya belajar di ruang kelas. Setiap Kamis, siswa dan guru harus praktik langsung berbicara Jawa dalam interaksi sehari-hari—dalam kelas, saat istirahat, sampai di kantin sekolah. Ini tujuannya agar bahasa Jawa tidak hanya dipahami, tapi juga dipakai.
Koordinasi sudah dilakukan antar lembaga terkait: Dinas Pendidikan bekerja sama Balai Bahasa Jawa Timur dan Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP). Modul ajar pun disusun dengan akurat sesuai logat khas Surabaya—misalnya penggunaan kata “rek” dan “koen”—agar terasa dekat dan autentik.
Mekanisme Program “Kamis Mlipis”
Pelaksanaan “Kamis Mlipis” dimulai dari seluruh sekolah di lingkungan Pemkot. Setiap siswa harus menggunakan Bahasa Jawa, terutama krama inggil, ketika berkomunikasi dengan guru maupun antar teman, baik formal maupun informal.
Modul ajar disiapkan MGMP berdasarkan logat lokal Surabaya. Materinya meliputi aktivitas seperti mendongeng, pidato, membaca puisi, hingga percakapan sehari-hari—selain pembelajaran aksara Jawa dan budaya lokal.
Evaluasi juga sudah direncanakan. Balai Bahasa Jawa Timur akan melakukan pendampingan, pelatihan guru, dan menilai efektivitas melalui jurnal lapangan dan observasi setiap semester.
Tujuan dan Harapan Kebijakan
Pemkot berharap program ini mampu membalikkan penurunan penggunaan bahasa Jawa di kalangan generasi muda. Yusuf Masruh menekankan bahwa revitalisasi bahasa daerah tidak bisa hanya mengandalkan kurikulum—praktik bahasa di lingkungan sekolah justru yang membuat istilah dan sastra daerah hidup kembali.
Kebijakan ini diharapkan memupuk rasa bangga terhadap identitas lokal. Keterampilan krama inggil bukan sekadar bahasa lama, tapi simbol tata krama dan nilai budaya Jawa yang bisa dipakai di berbagai konteks sosial, hingga resmi.
Selain itu, pelatihan guru dan koordinasi berkelanjutan dengan komunitas budaya memungkinkan transfer pengetahuan lebih lancar—menanamkan warisan budaya secara konsisten dan relevan.
Tanggapan dan Perspektif Pakar
Pakar bahasa dari Universitas Airlangga, Puji Karyanto, memberikan pandangan positif: ini adalah rekayasa budaya yang diperlukan agar eksistensi bahasa tidak hilang secara alami. Menurutnya, kebijakan ini bisa efektif jika didukung modul ajar baik dan penerapan konsisten di lapangan.
Namun, ia mengingatkan agar integrasi bahasa Jawa disertai penjelasan budaya Jawa lebih luas—seperti kesenian, tradisi, dan aksara—agar siswa tidak hanya belajar kata, tapi juga konteks sosial dan sejarahnya.
Hal yang senada juga dikemukakan MGMP dan komunitas budaya, yang menunjukkan bahwa program ini perlu didukung oleh sumber daya seperti modul, pelatihan, serta infrastruktur visual aksara Jawa di sekolah dan lingkungan.
Tantangan dalam Pelaksanaan
Praktik langsung tentu ada tantangan. Beberapa sekolah mengaku adanya perbedaan kemampuan Bahasa Jawa antar siswa—terutama putra daerah perantau. Dispendik pun menyikapinya dengan memberikan stimulus materi dan pelatihan untuk semua sekolah agar siswa selevel.
Dengan latar belakang budaya yang terus berubah dan penggunaan bahasa Indonesia dominan, ada kekhawatiran bahasa Jawa akan dianggap hal kuno. Oleh karena itu, penyelenggara menyediakan konten menarik—cerita lokal, lagu, komedi tradisional—sebagai materi pembelajaran agar bahasa terasa hidup, bukan beban.
Keterbatasan tenaga pengajar juga jadi perhatian. Itulah kenapa Dispendik memprioritaskan pelatihan intensif untuk guru dan pengawasan rutin, agar standar kurikulum dan praktiknya tetap terjaga.
Menuju Bahasa Jawa yang Hidup
Program “Kamis Mlipis” membuktikan bahwa pelestarian bahasa tak cukup lewat wacana—dibutuhkan tindakan nyata tiap minggu. Surabaya jadi kota pionir yang merancang regulasi lokal, sumber daya, dan implementasi konkret menggunakan bahasa Jawa secara rutin.
Jika berhasil, bukan tidak mungkin kota lain akan meniru. Apa yang dimulai di Surabaya bisa jadi model nasional dalam revitalisasi bahasa dan budaya daerah.
Kesimpulan
-
Pemkot Surabaya resmi wajibkan Bahasa Jawa Krama Inggil setiap Kamis di SD dan SMP lewat Perwali No.17/2025.
-
Modul ajar dan pelatihannya matang, didukung MGMP dan Balai Bahasa.
-
Kebijakan bertujuan revitalisasi budaya dan identitas lokal melalui praktik harian.
-
Pakar mendukung, dengan catatan integrasi budaya harus menyeluruh.
-
Tantangan teknis: perbedaan kemampuan, tenaga guru, dan kesiapan materi.
-
Dampak jangka panjang: bahasa Jawa tak hanya hidup, tapi relevan dan dipakai generasi baru.