
Sebuah Luka dalam Sistem Pendidikan Indonesia: Dari Filosofi hingga Psikologis
kanglintang.com – Pendidikan Indonesia telah mengalami berbagai reformasi—dari kurikulum berulang hingga digitalisasi. Namun, tetap ada luka mendasar: filosofi pendidikan yang kabur, tekanan psikologis siswa, dan ketimpangan kualitas antar daerah. Opini ini menggali aspek-aspek tersebut dan menawarkan arah perubahan agar pendidikan benar-benar bermakna dan manusiawi.
Ketiadaan Landasan Filosofis yang Menjadi Luka Pertama
Pendidikan seharusnya berdasar pada falsafah kuat—Pancasila dan UUD 1945. Namun penulis opini menyoroti bahwa filosofi ini justru jarang muncul dalam kebijakan. Hasilnya:
-
Kebijakan pendidikan bergonta-ganti tanpa integrasi nilai, hanya reaktif terhadap tren global. Akibatnya guru dan siswa kehilangan arah yang konsisten, seperti berada di hutan tanpa peta.
-
Kurikulum berubah namun tujuan besar jauh dari keteguhan; hal ini menyebabkan reformasi lebih bersifat kosmetik daripada transformatif.
-
Tidak adanya kompas nilai yang kuat di akar sistem menyebabkan pendidikan kurang mampu membentuk karakter, empati, dan kebangsaan.
Falsafah pendidikan nasional bukan sekadar kata di atas kertas; ia harus menjadi panduan moral dan pedagogis yang mengarahkan seluruh aspek pembelajaran, kebijakan, dan interaksi di lingkungan sekolah.
Luka Psikologis di Tengah Tekanan Akademik
Riset terbaru menunjukkan siswa Indonesia mengalami tekanan akademik yang berat: kurikulum padat, tuntutan nilai tinggi, dan minim ruang untuk protes atau gagal dengan aman :
-
Mata pelajaran bertambah dan jam belajar panjang membuat murid kehilangan waktu untuk istirahat dan merenung. Banyak siswa belajar bukan karena ingin tahu, tetapi karena takut tertinggal atau dianggap bodoh.
-
Budaya “nilai lebih utama daripada proses” memicu stres, kecemasan bahkan depresi—walau pendampingan psikologis di sekolah masih sangat terbatas. Siswa dari keluarga kurang mampu makin tertekan lantaran tidak bisa daya bantu privat. Ketidakseimbangan ini memperlihatkan ketegangan sistem: yang kaya mendapat bimbingan, yang miskin tertinggal.
Tekanan ini menciptakan luka emosional pada anak-anak yang seharusnya sedang tumbuh dengan rasa ingin tahu dan kebahagiaan belajar.
Ketimpangan Infrastruktur dan Guru — Luka Struktural Sistemik
Kualitas pendidikan juga terkendala oleh:
-
Ketimpangan fasilitas dan guru
Banyak sekolah di daerah terpencil kekurangan guru berkualitas dan fasilitas dasar. Infrastruktur pendidikan yang terbengkalai menimbulkan ketimpangan dalam akses belajar. -
Ribuan guru honorer bergaji rendah
Kondisi ini menurunkan motivasi dan kualitas pengajaran. Rata-rata guru honorer menerima gaji di bawah Rp2 juta, bahkan Rp500 ribu—sangat tidak proporsional. -
Kejagalan reformasi kurikulum tanpa implementasi
Kurikulum berubah – dari KTSP, K13, ke Merdeka Belajar – namun implementasi tidak seimbang di seluruh wilayah. Sekolah di kota besar lebih siap daripada sekolah di desa, menciptakan ketidaksinambungan praktik.
Persoalan ini mengarah pada luka struktural: anak-anak terjebak dalam sistem yang tidak adil dan guru tidak diberdayakan.
Fenomena Kekerasan dan Gagalnya Pendidikan Holistik
Luka berikutnya muncul dalam bentuk kekerasan dan hilangnya nilai pendidikan karakter:
-
Pendidikan masih sangat teknokratik—fokus pada angka & ujian. Hal ini memicu tawuran antar pelajar bahkan di tingkat SD sebagai bentuk kekosongan makna.
-
Budaya kekerasan di sekolah tampak dari banyaknya kasus perundungan dan bahkan kekerasan fisik di berbagai jenjang pendidikan.
-
Nilai moral menjadi slogan belaka. Meskipun ada kurikulum karakter, implementasinya masih terbatas—hingga pendidikan jadi ritual kosong tanpa menyentuh moral siswa.
Sistem yang gagal membangun kemanusiaan nyata dalam peserta didik menyebabkan luka moral yang lebih dalam daripada sekadar akademik.
Menyembuhkan Luka Sistem, Menuju Pendidikan Bermakna
Solusi diperlukan secara komprehensif. Langkah yang bisa dilakukan:
-
Rumuskan kembali falsafah pendidikan nasional
Libatkan kalangan akademik, praktisi, tokoh budaya dan agama untuk merumuskan filosofi yang jelas, inklusif, dan dapat diimplementasikan. -
Reformasi kurikulum & pendampingan psikologis
Kurikulum harus pace-nya terukur, tidak terlalu padat, serta terintegrasi dengan asesmen proses dan hasil. Sediakan layanan konseling yang memadai di setiap sekolah. -
Kesejahteraan guru dan pemerataan guru kualitas
Tingkatkan gaji guru honorer dan sediakan pelatihan teaching-pedagogy secara terstruktur. Distribusi guru berkualitas ke daerah terpencil harus jadi prioritas. -
Penanaman karakter & hambatan kekerasan
Implementasi pendidikan karakter secara kontekstual dan partisipatif—termasuk pelibatan masyarakat dan orang tua. -
Pengawasan dana & evaluasi berkelanjutan
Transparansi anggaran pendidikan harus diperkuat sehingga dana yang dialokasikan benar-benar digunakan untuk tujuan pembelajaran dan fasilitas, bukan birokrasi atau korupsi.
Saatnya Menyembuhkan Luka dan Bangun Pendidikan Utuh
Sistem pendidikan Indonesia saat ini menerima banyak pujian—digitalisasi, inovasi kurikulum, dan program vokasi. Namun “sebuah luka” masih menganga: filosofi yang kabur, anak yang dibebani, guru yang terlupakan, dan kekerasan moral.
Mengobati luka ini tidak bisa setengah hati. Membutuhkan strategi menyeluruh dan konsisten, dari dasar filosofi, kurikulum, guru, hingga nilai kemanusiaan. Bersama, kita bisa mengubah sistem yang rapuh menjadi pendidikan yang bermartabat, adil, dan utuh.